Akibat yang Mungkin Timbul dari Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut
PERSELISIHAN batas wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) mencuat setelah penetapan kodifikasi wilayah oleh pemerintah pusat yang memicu penolakan dari sejumlah pihak di Aceh. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) memutuskan empat pulau di kawasan Aceh Singkil masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut.
Pengalihan status empat pulau ini termaktub dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 300.2.2-2138/2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang terbit pada 25 April 2025. Keempat pulau tersebut adalah Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan Kepmendagri itu telah melewati kajian letak geografis dan pertimbangan keputusan yang melibatkan berbagai instansi. Menurut dia, sengketa perbatasan empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara rumit dan terjadi sudah lama.
Tito menyebutkan Kementerian Dalam Negeri harus menetapkan batas wilayah empat pulau tersebut karena berkaitan dengan penamaan pulau yang harus didaftarkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa.
“Kami terbuka terhadap evaluasi atau gugatan hukum, termasuk ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Silakan saja,” kata Tito di Istana Kepresidenan pada Selasa, 10 Juni 2025.
Sejumlah kalangan mengingatkan konsekuensi yang dapat timbul akibat dari sengketa itu.
Muhammadiyah: Rebutan 4 Pulau Aceh Bisa Timbulkan Disintegrasi
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Anwar Abbas meminta pemerintah menghindari terjadinya disintegrasi akibat polemik empat pulau Aceh yang ditetapkan oleh Mendagri masuk ke Provinsi Sumatera Utara.
Anwar mengingatkan banyak korban berjatuhan selama konflik bersenjata puluhan tahun di Aceh antara pihak pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun keduanya berdamai melalui Kesepakatan Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
Beberapa poin hasil perjanjian tersebut antara lain pemberian otonomi khusus yang lebih luas kepada pemerintah Aceh, penyelenggaraan pemilihan umum istimewa di Aceh, serta pemberian amnesti anggota GAM. Kemudian penarikan pasukan TNI dan Polri serta pembentukan Satuan Tugas Pengamanan Aceh.
Anwar mengatakan, berkat konsistensi pemerintah Indonesia dalam mematuhi kesepakatan, perdamaian di Aceh bisa terwujud dengan baik.
“Tetapi setelah 20 tahun berlalu, perdamaian yang ada kembali terusik oleh kehadiran surat keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kepmendagri) yang menetapkan empat pulau, yakni pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipah, dan Panjang, masuk ke wilayah Sumatera Utara,” kata Anwar kepada Tempo pada Senin, 16 Juni 2025.
Menurut dia, keputusan itu telah membuat pemerintah dan rakyat Aceh tersinggung karena keempat pulau tersebut, menurut mereka, dan juga menurut Jusuf Kalla secara formal dan historis, masuk wilayah Singkil, Aceh.
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini berharap Presiden Prabowo Subianto dapat menyelesaikan polemik ini dengan sebaik-baiknya. “Sebab, kalau kita gagal menangani masalah ini, maka tidak mustahil akan menimbulkan disintegrasi bangsa dan kita tentu saja tidak mau hal itu terjadi,” ujarnya.
Ketua KKR Aceh: Jangan Tambah Konflik Baru
Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh Masthur Yahya merasa prihatin atas sikap pemerintah pusat yang menetapkan empat pulau di wilayah Aceh Singkil sebagai bagian dari Sumatera Utara.
Dia menuturkan keputusan itu bukan hanya soal batas wilayah administratif. “Ini menyentuh urat sensitif sejarah dan identitas masyarakat Aceh yang sedang menumbuhkembangkan rasa saling percaya pascakonflik,” ujar Masthur dalam keterangannya kepada Tempo di Banda Aceh pada Jumat, 13 Juni 2025.
Masthur mengatakan, saat ini, di Aceh sedang dalam proses meredam, memulihkan luka-luka lama, dan memutus mata rantai dendam pascakonflik. Upaya tersebut melalui pengungkapan kebenaran, pendekatan rekonsiliasi, dan reparasi komprehensif. “Tapi belakangan ini sepertinya muncul guratan bisul baru yang berpotensi meletus jadi sentimen konflik berikutnya,” ujarnya.
Dia mengajak semua kalangan menahan diri, tidak provokatif, dan juga tidak terprovokasi dengan kebijakan tersebut. Menurut dia, pada akhir 2024, Kemendagri disebut-sebut pernah ‘mengusik’ perdamaian yang sedang menguat di Aceh, yaitu menyarankan pembubaran KKR Aceh. Masthur menegaskan KKR Aceh hingga kini tetap melaksanakan mandat dan tugasnya setelah pemerintah Aceh meminta klarifikasi ke Kemendagri.
Masthur menegaskan lembaganya siap menjadi juru damai jika potensi konflik atas sengketa empat pulau yang menjadi perbincangan masyarakat di Aceh saat ini muncul. “Kami siap turun tangan sebagai juru damai. Ini bagian dari mandat moral kami: menjaga agar Aceh tidak kembali diseret ke pusaran konflik baru yang sesungguhnya bisa dihindari,” kata dia.
Dia menuturkan pendekatan administratif yang tidak sensitif terhadap sejarah dan trauma masa lalu di Aceh justru bisa menimbulkan situasi negatif yang merusak kembali kepercayaan masyarakat kepada pemerintah pusat. “Pemerintah pusat harus arif dan peka tentang Aceh. Ini bukan cuma soal peta, tapi soal perasaan, harga diri, memori sejarah dan damai yang berkelanjutan,” ucapnya.
Masthur mendorong dialog terbuka antara pemerintah pusat, Wali Nanggroe Aceh, pemerintah Aceh, ulama, akademikus, majelis adat, dan warga terdampak untuk menegaskan solusi yang bermartabat dan tidak mengusik damai.
PKS Desak DPR Segera Bahas Sengketa 4 Pulau
Adapun Ketua Majelis Pertimbangan Pusat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto meminta Komisi II DPR segera menggelar rapat dengan Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution membahas pemindahan administrasi 4 pulau yang menjadi sengketa.
Dia mengatakan, dengan mempertimbangkan aspek historis, kondisi sosial politik, serta status Aceh sebagai daerah dengan otonomi khusus, seharusnya menjadi prioritas DPR segera menghelat rapat guna meminimalkan polemik yang berlarut.
“Komisi II tidak harus menunggu masa reses selesai karena kondisinya mendesak,” kata Mulyanto dalam keterangan tertulis yang diperoleh Tempo pada Senin, 16 Juni 2025.
Dia menghormati keputusan Presiden Prabowo Subianto yang akan mengambil alih polemik sengketa 4 pulau yang melibatkan Aceh dengan Sumatera Utara ini. Namun, kata dia, lebih baik DPR sebagai representasi rakyat dapat bertindak lebih cepat agar dapat segera melaporkan kesimpulan rapat tanpa menunggu Presiden pulang dari kunjungan kenegaraan.
Sebab, kata dia, kesimpulan rapat DPR dengan dua gubernur akan menjadi landasan yang amat penting bagi Prabowo untuk menentukan sikapnya dalam menyelesaikan polemik sengketa 4 pulau. “Persoalan ini tidak bisa sepenuhnya diputuskan oleh pemerintah, harus ada keterlibatan DPR sebagai pengawasan masyarakat,” ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR Bahtra Banong mengatakan komisinya akan segera menjadwalkan rapat dengan kepala daerah, termasuk Bupati Aceh Singkil dan Bupati Tapanuli Tengah guna menyelesaikan polemik sengketa 4 pulau. “Segera kami jadwalkan, sekarang masih reses,” kata Bahtra pada Sabtu, 14 Juni 2025.
Bahtra juga meminta Kemendagri, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, serta masyarakat kedua wilayah menyelesaikan sengketa 4 pulau dengan asas kekeluargaan.
Sebab, menurut dia, konflik batas wilayah, khususnya antarprovinsi, yang melibatkan pulau kecil sebagaimana yang terjadi antara Aceh-Sumatera Utara bukan sekadar masalah teknis peraturan. “Menyangkut juga soal identitas, histori, ekonomi, dan sosial,” kata politikus Partai Gerindra itu.
Eka Yudha Saputra, Adi Warsidi, dan Andi Adam Faturahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Fadli Zon Sangkal Pemerkosaan Massal 1998, Ini Kata Akademisi
Recent Comments