Arsip PBB Catat Pemerkosaan Jadi Instrumen Intimidasi di Indonesia sebelum 1998
TEMPO.CO, Jakarta – Kasus pemerkosaan pada masa transisi politik 1998 bukan yang pertama di Indonesia. Dokumen Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat pemerkosaan terhadap perempuan telah menjadi instrumen intimidasi di Aceh, Irian Jaya, dan Timor Timur selama masa pemerintahan Orde Baru. Ketiga wilayah tersebut merupakan daerah di mana konflik dengan militer Indonesia terjadi.
Dokumen PBB yang mencatat kasus-kasus itu disusun oleh Pelapor Khusus PBB untuk kekerasan terhadap perempuan, Radhika Coomaraswamy, pada 1998. Radhika menyusun laporan berdasarkan penelusuran di Jakarta dan Dili, saat itu ibu kota Provinsi Timor Timur, selama dua pekan pada 20 November-4 Desember 1998.
Ketika itu, pemerintah Indonesia mengundang pelapor khusus PBB untuk menelusuri kasus-kasus kekerasan berbasis gender yang diduga dibiarkan atau dilakukan oleh negara. Undangan itu diberikan di tengah upaya mengungkap kekerasan Mei 1998, termasuk pemerkosaan massal terhadap perempuan beretnis Tionghoa.
Selain melaporkan kekerasan seksual sistematis terhadap perempuan beretnis Tionghoa, Radhika juga menelusuri kasus pemerkosaan di Aceh, Irian Jaya (sekarang Papua), dan Timor Timur (sekarang Republik Demokratik Timor Leste). Radhika sempat meminta akses ke Aceh dan Papua, namun ditolak oleh pemerintah Indonesia dengan alasan keterbatasan waktu.
Melalui kunjungannya ke Indonesia, Radhika menemukan indikasi pemerkosaan menjadi instrumen untuk mengintimidasi masyarakat di wilayah Aceh, Irian Jaya, dan Timor Timur di bawah pemerintahan Orde Baru.
“Sebelum Mei 1998, pemerkosaan digunakan sebagai instrumen penyiksaan dan intimidasi oleh elemen tertentu militer Indonesia di Aceh, Irian Jaya, dan Timor Timur,” kata Radhika dalam laporannya.
Menurut Radhika, sikap resmi pemerintah menentang tindakan pemerkosaan setelah Mei 1998. Petinggi militer Indonesia di Timor Timur saat itu menyampaikan kepada Radhika bahwa mereka tidak akan menoleransi pemerkosaan oleh tentara dan pelakunya akan diproses hukum.
Namun, Radhika menemukan fakta yang berbeda di lapangan. “Pemerkosaan-pemerkosaan tetap terjadi. Pelapor Khusus mengetahui nama empat perempuan yang diduga diperkosa oleh tentara di Timor Timur sejak Mei 1998,” tulis Radhika.
Dalam laporannya, Radhika menemukan penyiksaan terhadap tawanan perempuan di Aceh, Irian Jaya, dan Timor Timur dilakukan secara masif oleh pasukan keamanan Indonesia sebelum Mei 1998.
“Metodenya termasuk pemerkosaan; penyetruman di kuping, hidung, payudara, dan vagina; menenggelamkan mereka di tanki air; membakar dengan puntung rokok; penahanan dalam ruangan penuh air dan selokan; pemukulan; ditelanjangi dan dipamerkan tanpa busana; diikat jempolnya ke langit-langit; dipaksa berhubungan badan dengan tawanan lain; dan metode penyiksaan lainnya.”
Mantan presiden Bacharuddin Jusuf atau Habibie pernah mengeluarkan pernyataan terbuka atas kasus pelanggaran HAM terhadap perempuan. Ketika itu, Habibie merespons temuan kekerasan seksual terhadap perempuan pada kerusuhan 1998, salah satu kasus yang juga dibahas Radhika dalam laporannya.
Pada 15 Juli 1998, beberapa bulan sebelum Radhika mengunjungi Indonesia, Habibie menyampaikan penyesalan yang mendalam terhadap terjadinya kekerasan terhadap perempuan “dalam bentuk apa pun juga dan di mana pun juga.”
Dua puluh tujuh tahun kemudian, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyangkal pemerkosaan massal itu terjadi. Menteri kabinet Presiden Prabowo Subianto itu menyebut pemerkosaan massal 1998 tak lebih dari rumor saat melakukan wawancara soal proses penulisan ulang sejarah dengan Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Zulfiani Lubis, Rabu, 11 Juni 2025.
Setelah pernyataan tersebut, Majalah Tempo kembali melakukan penelusuran terhadap kasus pemerkosaan massal 1998. Kesaksian korban hingga temuan Tim Gabungan Pencari Fakta atau TGPF mematahkan klaim Fadli. Simak tulisannya di sini.
Recent Comments