Bagaimana Pemilu akan Berlangsung setelah MK Pisahkan Pemilihan Nasional dan Daerah?
TEMPO.CO, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pemilihan umum atau Pemilu nasional dan daerah harus dilaksanakan secara terpisah dengan jeda waktu tertentu. Ketentuan itu tertuang dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diputus pada Kamis, 26 Juni 2025.
Ketua MK Suhartoyo menjelaskan pemisahan ini bertujuan mewujudkan Pemilu berkualitas dengan mempertimbangkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih. “Penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilu berkualitas serta memperhitungkan kemudahan bagi pemilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat,” kata Suhartoyo saat membacakan putusan.
Mahkamah ketika itu mengabulkan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Perludem meminta MK untuk mencabut frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menuturkan pemilihan umum presiden/wakil presiden serta anggota legislatif yang berdekatan dengan pemilihan kepala daerah menyebabkan minimnya waktu bagi masyarakat untuk menilai kinerja pemerintahan. Selain itu, dalam rentang waktu yang sempit tersebut, hakim menilai pelaksanaan pemilihan umum yang serentak menyebabkan masalah pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional.
Maka dari itu, MK memutuskan aturan Pemilu nasional dan daerah digelar serentak tak memiliki kekuatan hukum. Lantas bagaimana Pemilu akan berlangsung setelah MK menyatakan Pemilu nasional dan daerah harus terpisah?
Pemilu Legislatif DPR dan DPRD Tak Lagi Bersamaan
Pada Pemilu 2024, pemilihan anggota legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berlangsung dalam waktu yang sama. Keduanya dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI serta presiden dan wakil presiden.
Dalam Pemilu nasional serentak yang digelar 14 Februari 2024 lalu, terdapat lima kotak suara yang harus pemilih coblos, yaitu kotak suara presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, anggota DPD RI, anggota DPRD provinsi, serta anggota DPRD kabupaten/kota. Sementara Pemilu daerah dilaksanakan pada 27 November 2024 dengan satu kotak suara kepala daerah.
Setelah putusan MK, Pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu lima kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029 mendatang. Kotak suara untuk anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota akan disertakan saat Pemilu daerah, bukan saat Pemilu nasional.
Jeda Waktu Pemilu Nasional dan Daerah Paling Dekat Dua Tahun
MK mengusulkan jarak waktu antara Pemilu nasional dan daerah ditetapkan minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun setelah pemilu nasional. Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyebut waktu penyelenggaraan Pemilu nasional yang berdekatan dengan pemilu lokal dapat menurunkan kualitas pilihan pemilih akibat kejenuhan. MK juga menilai jadwal Pemilu yang rapat mengganggu stabilitas partai politik dalam merekrut dan menyiapkan calon anggota legislatif serta kepala daerah.
Dengan ketentuan tersebut, Pilkada selanjutnya berpotensi digelar pada 2031. Sebab, Pilpres berikutnya akan berlangsung pada 2029 setelah Presiden Prabowo Subianto menghabiskan lima tahun masa jabatannya.
MK meminta DPR dan pemerintah menyusun masa transisi jabatan untuk kepala daerah dan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota hasil Pemilu 2024 agar sinkron dengan pemisahan jadwal pemilu mulai 2029. Mahkamah menekankan pentingnya “rekayasa konstitusional” untuk menata ulang masa jabatan kepala daerah dan anggota legislatif yang terdampak agar tidak ada kekosongan jabatan.
Akan Dibahas di Revisi Undang-Undang
Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda menyebut putusan MK akan menjadi salah satu perhatian utama dalam pembahasan revisi UU Pemilu. Ia menilai penetapan jeda 2–2,5 tahun antara pemilu nasional dan lokal akan memunculkan dinamika baru dalam perumusan undang-undang, terutama mengenai masa jabatan transisi.
“Kami memastikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi salah satu concern bagi Komisi II DPR RI dalam menindaklanjuti,” kata Rifqinizamy, Kamis, 26 Juni 2025.
Namun, anggota Komisi II DPR Muhammad Khozin mengkritik putusan MK karena menutup opsi model keserentakan yang pernah ditawarkan MK dalam putusan sebelumnya. Ia menilai hal ini membatasi kewenangan pembentuk UU dalam menentukan model pemilu. “Urusan pilihan model keserentakan pemilu adalah domain pembentuk UU,” kata Khozin.
Recent Comments