Bappenas Optimis Masyarakat Tak Terjebak 'Middle Income Trap' di 2025
Jakarta, CNN Indonesia —
Staf Ahli Menteri Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan sekaligus Kepala Sekretariat Nasional SDGs Kementerian PPN/Bappenas, Pungkas Bahjuri Ali menilai, sektor pendidikan merupakan tantangan utama dalam upaya perwujudan Indonesia Emas pada 2045 mendatang.
Visi Indonesia Emas 2045 itu pun secara langsung berkaitan dengan bonus demografi, di mana nantinya sebagian besar penduduk Indonesia berada di usia produktif dan masuk dalam kelas menengah. Saat ini, data mencatat bahwa seperempat dari kelas menengah adalah berpendidikan tinggi. Hal itu terungkap dalam kegiatan Indonesia Forward bertajuk Tantangan & Peluang Kelas Menengah Menuju Indonesia Emas 2045 yang tayang di CNN Indonesia.
“Sementara itu, hanya 8,4 persen dari kelompok miskin yang memiliki akses ke pendidikan perguruan tinggi. Artinya, jika kita ingin keluar dari middle income trap dan kemiskinan, pendidikan adalah salah satu kuncinya. Semakin tinggi akses ke pendidikan, terutama perguruan tinggi, semakin besar peluang untuk keluar dari kemiskinan dan naik ke kelas menengah,” ujar Pungkas, Senin (30/12).
Pungkas kemudian menjelaskan kompleksitas terkait satu sama lain dalam upaya mencapai Indonesia Emas 2045. Antara lain, sektor kesehatan yang menjadi modal manusia atau human capital, di mana human capital ini pun tak dapat berdiri sendiri.
“Meski jumlah lulusan perguruan tinggi cukup banyak, sering kali lapangan pekerjaan yang tersedia tidak seimbang dengan jumlah lulusan. Makanya, supply dan demand tenaga kerja harus diseimbangkan,” ujarnya.
Jika terjadi hal sebaliknya, lanjut Pungkas, para lulusan tersebut akan terperosok ke sektor-sektor informal yang kurang produktif. Untuk itu, harus disiapkan struktur ekonomi yang baik, misalnya melalui transformasi industri dan hilirisasi produk, agar dapat menampung tenaga kerja yang terampil.
Lokasi yang paling berpotensi mengalami hal tersebut, adalah perkotaan. Pasalnya, sebagian besar kelas menengah tinggal di perkotaan. Dalam hal ini, pemerintah kota diharapkan mampu menyediakan fasilitas yang cukup, baik secara ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan.
“Jangan sampai malah terjadi kekumuhan di perkotaan, atau mereka tidak mendapatkan pekerjaan yang layak,” kata Pungkas.
Dirinya mengakui, upaya mengurangi ketimpangan ekonomi, khususnya di antara kelompok kaya dan miskin agar tak semakin menjepit kelas menengah adalah tidak mudah. Secara umum, ketimpangan bisa dilihat melalui dua sisi, yakni horizontal (antarwilayah) dan vertikal (antarpendapatan).
“Untuk ketimpangan horizontal, afirmasi diperlukan untuk daerah-daerah tertinggal, terutama di pedesaan dan kawasan timur Indonesia. Fokusnya adalah memberikan akses terhadap pekerjaan, pemberdayaan ekonomi, dan perlindungan sosial. Sementara itu, ketimpangan vertikal antara kelompok kaya dan miskin dapat diatasi dengan memperluas akses terhadap finansial, memperbaiki sistem pajak, dan meningkatkan inklusi keuangan,” papar Pungkas.
Pungkas menambahkan, pekerjaan yang layak menjadi kunci keluar dari middle income trap. Inklusi keuangan, khususnya bagi UMKM, juga harus terus ditingkatkan. Terlebih, kini ada teknologi yang memungkinkan pemerataan akses keuangan yang lebih merata, termasuk masyarakat yang berdomisili di daerah terpencil.
“Untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, kolaborasi lintas-stakeholder harus terus digencarkan. Kita masih punya banyak pekerjaan rumah, tetapi dengan kerja sama yang baik, target-target tersebut dapat kita wujudkan,” pungkasnya.
(rea/rir)
Recent Comments