HUT Jakarta ke-498: Perjalanan Kota Jakarta dari DKI Menjadi DKJ
TEMPO.CO, Jakarta – Perjalanan Jakarta sebagai pusat pemerintahan Indonesia telah mengalami perubahan historis yang signifikan. Setelah berpuluh tahun menyandang status sebagai Ibu Kota Negara, pada 2024, posisi tersebut secara resmi beralih ke wilayah lain. Kini, Jakarta memasuki babak baru sebagai Daerah Khusus Jakarta (DKJ), menggantikan status sebelumnya sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI).
Perubahan ini merupakan konsekuensi dari kebijakan nasional yang menetapkan Ibu Kota Negara (IKN) dipindahkan dari Jakarta ke Nusantara di wilayah Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Pemindahan ibu kota tersebut dimandatkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, yang kemudian diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023, yang isinya mengubah ketentuan dalam undang-undang sebelumnya.
Berdasarkan ketentuan dalam peraturan tersebut, status Jakarta sebagai Ibu Kota Negara secara hukum dinyatakan telah berakhir pada 15 Februari 2024, atau dua tahun setelah UU IKN diundangkan. Hal ini menandai transisi formal Jakarta dari pusat pemerintahan negara menjadi wilayah otonom dengan karakteristik khusus.
Fungsi Ganda Jakarta
Sejak era kolonial Belanda, Jakarta yang sebelumnya dikenal dengan nama Batavia telah memainkan peran penting sebagai pusat administratif dan ekonomi. Setelah Indonesia merdeka, Jakarta ditetapkan sebagai ibu kota negara dan mengalami perkembangan pesat, baik dalam segi infrastruktur, ekonomi, maupun jumlah penduduk.
Jakarta kemudian ditetapkan secara resmi sebagai Daerah Khusus Ibukota melalui UU Nomor 29 Tahun 2007, yang menyatakan bahwa wilayah ini merupakan daerah otonom tingkat provinsi sekaligus pusat pemerintahan nasional. Sebagai ibu kota negara, Jakarta memperoleh pendanaan khusus dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dengan wewenang tertentu dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat nasional.
Dalam perjalanannya, Jakarta tidak hanya berkembang sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga menjadi simpul utama dalam jejaring perdagangan, industri, pendidikan, dan budaya di Indonesia. Kota ini menjadi magnet urbanisasi, pusat pertumbuhan ekonomi, dan pusat konsentrasi populasi.
Namun, perkembangan yang pesat juga membawa sejumlah tantangan, terutama dalam aspek tata ruang, kemacetan lalu lintas, beban infrastruktur, dan ketimpangan sosial. Kompleksitas tersebut turut menjadi salah satu alasan utama munculnya wacana pemindahan ibu kota negara ke wilayah lain.
Pengesahan UU IKN dan RUU DKJ
Langkah resmi untuk memindahkan ibu kota dimulai dengan pengesahan UU IKN pada tahun 2022. Undang-undang ini merumuskan rencana pembangunan ibu kota baru dengan nama Nusantara, serta menegaskan bahwa kedudukan pemerintahan nasional akan dipindahkan ke wilayah baru tersebut.
Sebagai tindak lanjutnya, pemerintah dan DPR menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Khusus Jakarta. RUU tersebut bertujuan menetapkan Jakarta sebagai daerah otonom yang tidak lagi berfungsi sebagai ibu kota negara, namun tetap memiliki karakteristik khusus. Pada 28 Maret 2024, RUU DKJ disetujui dalam sidang paripurna DPR RI, sekaligus mengakhiri status DKI Jakarta.
Meski RUU telah disetujui legislatif, peralihan ibu kota belum sepenuhnya efektif secara administratif, karena masih menunggu diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) yang meresmikan perpindahan pusat pemerintahan ke IKN Nusantara. Pemerintah Provinsi Jakarta pun tengah merampungkan peraturan dan penyesuaian kelembagaan berdasarkan RUU DKJ tersebut.
Perubahan Regulasi dan Skema Pendanaan
Perubahan status Jakarta dari DKI menjadi DKJ membawa dampak langsung pada pengaturan pendanaan daerah. Pada masa sebelumnya, sebagai ibu kota negara, Jakarta mendapatkan alokasi anggaran khusus dari APBN untuk mendukung pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan nasional yang berada di wilayahnya.
Namun, dalam kerangka baru sebagai DKJ, dukungan pendanaan tersebut dihapus. Pendanaan daerah Jakarta sepenuhnya akan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta sumber-sumber sah lainnya. Pemerintah pusat tetap membuka kemungkinan untuk memberikan tambahan dukungan dana, namun hanya dalam hal pelaksanaan kewenangan yang bersifat khusus dan dengan mempertimbangkan usulan dari pemerintah provinsi.
Penataan Kawasan Regional dan Kerja Sama Wilayah
Selain aspek pendanaan, pengaturan kerja sama antarwilayah juga mengalami transformasi. Jika dalam peraturan sebelumnya kerja sama Jakarta dengan wilayah sekitar bersifat sukarela, maka dalam kerangka hukum DKJ, kerja sama regional menjadi kewajiban yang diarahkan untuk mendukung peran Jakarta sebagai kota global dan pusat pertumbuhan nasional.
Kerja sama ini mencakup integrasi pembangunan dengan wilayah-wilayah yang berbatasan langsung, seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur). Fokus kerja sama mencakup sistem transportasi terintegrasi, pengelolaan sampah dan air limbah, pengendalian pencemaran, serta tata kelola drainase dan sumber daya air lintas wilayah.
Untuk mendukung implementasinya, akan dibentuk Dewan Kawasan Regional yang dipimpin oleh Wakil Presiden RI. Lembaga ini memiliki fungsi koordinatif antarwilayah dan antarinstansi, guna menjawab berbagai hambatan implementasi yang selama ini muncul karena perbedaan kepentingan antar daerah dan keterbatasan koordinasi sektoral.
Kawasan regional juga akan memiliki dokumen perencanaan strategis berupa Rencana Induk (Renduk) untuk menyelaraskan pembangunan antarwilayah, serta memungkinkan perluasan cakupan kawasan sesuai dengan dinamika strategis Jakarta dan sekitarnya.
Recent Comments