JAFF Tadinya Festival Sinefil Hipster. Kini Ia Jadi Destinasi Wisata.
Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) adalah tempat kamu bertemu orang-orang film “Jakarta” tidak di Jakarta. Ini sudah dihafal para penonton setia.
Termasuk di gelaran tahun ini yang berlangsung 25 November-2 Desember. Di depan gedung Empire XXI, venue JAFF, aku berpapasan dengan Yulia Evina Bhara. Ia berdiri di dekat penjual otak-otak bersepeda, tampak menunggu mobil jemputan. Saat memasuki halaman gedung, aku melihat Sal Priadi sedang bergegas. Ifa Isfansyah terlihat berdiri di teras Empire sambil memantau panggung outdoor. Wajahnya serius, berkebalikan dari ekspresi Yosep Anggi Noen yang berdiri lima meter darinya, mengobrol sambil melipat tangan. Orang itu tertawa-tawa.
Di hari lain, pas aku nongkrongin stan makanan, Riri Riza tiba-tiba ngibrit dari pintu keluar studio di belakangku. Restoran ayam goreng Tojoyo 3 di depan Empire malah isinya artis semua. Duduk saja di dalamnya jam berapa pun. Di kirimu tiba-tiba sudah ada Cholil Mahmud, Enzy Storia di belakang, dan Morgan Oey di depan. Beberapa artis datang untuk nonton. Sebagian lainnya berkepentingan untuk promosi film. Pemutaran Jatuh Cinta Seperti di Film-film yang membuat studio penuh, dihadiri krunya hampir lengkap. Ernest Prakasa, Yandy Laurens, Ringgo Agus, Nirina Zubir, Sheila Dara nongol semua.
Suasananya kontras dengan JAFF belasan tahun lalu ketika masih bertempat di Societet Taman Budaya Yogyakarta. Samar-samar aku ingat pernah datang ke JAFF era itu. Menonton suatu film saat malam berhujan. Di teras Societet mungkin ada beberapa payung nyender. Lantai tegel abu-abunya becek oleh sandal para mahasiswa sinefil hipster, atau yang sedang mencoba jadi. Petugas karcis duduk di balik meja kayu seperti yang dipakai guru sekolah negeri puluhan tahun lalu. Societet adalah venue menonton—film, konser, teater, bedah buku, ceramah—yang proper. Tapi kalau dibandingkan dengan lantai karpet dan Dolby stereo XXI, jelas kebanting.
Saat pengumuman JAFF ke-18 tahun ini beredar di medsos, orang-orang bicara tentang perang tiket, rencana datang ke Jogja dari kota mereka, booking kereta dan hotel. JAFF berangkat dari pemutaran di ruangan berlantai undak di Societet, bertransformasi menjadi festival film jujukan wisata dan arena menjalin jejaring profesional.
Ada 20 ribu penonton di JAFF tahun ini. Sebagian di antaranya bukan cuma mau nonton film.
Sudah lima kali Habil Fachryl (24) sengaja setor muka ke JAFF. Yang pertama pada 2018, tak lama setelah jadi mahasiswa Komunikasi di Surabaya. “Di jurusan aku ada komunitas filmnya. Dari situ mulai ada ketertarikan datang ke festival. Sebelumnya sudah sempat tertarik ke film, tapi baru mengenal ada festival film, specifically ada JAFF, baru dari komunitas waktu kuliah,” katanya kepada VICE.
Aku ketemu Habil dengan cara yang “JAFF sekali”. Waktu berjalan di lorong Empire, aku melihat fotografer Alva Christo. Kontan aku menyapanya. Alva adalah scene photographer video klip More on Mumbles. Duo musik asal Jogja ini terdiri dari suami istri Awan dan Lintang. Awan mantan teman kerjaku di VICE, sama-sama penulis. Alva tahu aku teman Awan. Jadi dia bilang, sambil menunjuk Habil di sebelah yang dari tadi mengobrol dengannya. “Ini nih produser video klipnya More on Mumbles.”
Situasi seperti itu yang bikin Habil datang lagi dan lagi ke JAFF. Well, tentu bukan orang kayak aku yang diharapkan Habil, tapi ilustrasinya kurang lebih demikian.
“[Yang bikin pengin datang lagi tuh] lebih ke suasana dari festival ini. Misal kayak kita tadi ngobrol-ngobrol sama seseorang random gitu, entah pinjem korek atau apa, sampai akhirnya, oh dia ternyata kenal sama ini, kenal sama itu. Nemuin relasi baru yang sebenernya kita tuh ada intersection di situ, cuma kita baru tahu karena kita ngobrol di sini,” kata Habil.
“[Datang lagi karena] film-filmnya juga, pasti. Ada beberapa film yang agak susah diakses dan akhirnya aku bisa nonton di sini. Yang aku paling suka ya ngeliat gimana semuanya tumplek blek di sini. Aku ngelangkah sedikit, ketemu filmmaker. As a filmmaker tuh menyenangkan dan refreshing bisa randomly ngomongin film sama orang-orang di sini yang udah pasti asik diajak ngobrol hal yang sama.”
Habil berhasil mendapatkan kursi untuk tiga film di JAFF kali ini. Tiger Stripes, Monster, dan Abang Adek. Ia sempat mengincar 24 Jam Bersama Gaspar dan Tuhan, Izinkan Aku Berdosa, namun kalah war tiket. Padahal ia sudah menyiapkan dua perangkat dan standby sejak penjualan tiket dibuka. “Aku bener-bener enggak lepas dari gadget itu. Aku belain makan di depan itu,” katanya. Tiga film tadi hasil perang selama 3,5 jam.
Selain nonton film dan bertemu sesama penggemar sinema, Habil juga janjian dengan teman-temannya dari Surabaya yang merantau ke Jakarta. Ini ritus tahunan mereka. “Mereka udah aktif kerja di Jakarta dan akhirnya tiap tahun selalu ngeluangin waktu untuk ketemu di Jogja,” ujar Habil.
Pada gelaran JAFF tahun lalu, Habil datang tak cuma sebagai penonton, tapi juga sebagai filmmaker yang karyanya diputar di sini. Film Stroke buatan rumah produksi tempat Habil bekerja, People Film, masuk line up program Layar Indonesiana.
Ibadah film tahunan ini makin sempurna karena dibarengi wisata kuliner. Habil sudah tahu ia akan ngendon seminggu di Jogja, makanya ia sekalian menyusun daftar tempat makan yang mau ia kunjungi di sela acara. Favoritnya: menjelajahi warung-warung mie di Jogja.
Bhisma Wardhana (20) dan Muhammad Akmal Afdani (19) sama-sama kuliah di Universitas Brawijaya, tapi beda jurusan beda angkatan. Mereka baru ketemu di Unit Kegiatan Mahasiswa Nol Derajat Film. Tahun ini organisasi mengutus mereka datang ke JAFF untuk mencari kenalan baru sesama pegiat film pendek. Dari Malang mereka naik bus dan akan menetap di Jogja sampai seminggu ke depan. Ini JAFF pertama bagi mereka.
“Relasi baru ini buat apa?” aku bertanya.
“Tuker cerita antar-komunitas. Entar di komunitas aku ada acara gini, di komunitas mereka ada acara apa, dari situ bisa follow-followan IG ya kan ya, nanti bisa ngajak ke acaranya. Ya mulai dari situ sih,” ujar Akmal.
Di Nol Derajat Film, Bhisma menekuni keaktoran. Ia biasanya terlibat sebagai talent coordinator atau talent scouting. Sedangkan Akmal mendalami penyutradaraan. Ia sudah pernah menyutradarai satu film pendek.
Keduanya memilih nonton banyak film pendek selama JAFF. Program Light of Asia dan Emerging masuk daftar mereka. “[Orientasi pilihan film] lebih ke program. Yang aku lihat, basis kita secara produksi di kuliah saat ini film pendek. Sebagai referensi tambahan juga sih jatuhnya. Kalau dengan kita melihat [JAFF], ini kan perspektifnya Asia, enggak cuma lokal aja, jadi menambah cakupan [wawasan kami] lebih luas lagi,” Akmal menjelaskan.
Di sela kami mengobrol, seorang pemuda menghampiri mereka. Itu teman mereka yang tengah magang di Jogja, di studio milik B.W. Purba Negara. Sambil mereka ngobrol, Makbul Mubarak lewat. Tadi di dalam bioskop Bhisma dan Akmal sempat melihat Jajang C. Noer. Diam-diam mereka berharap bisa ngobrol, tapi tak tahu bagaimana memulai basa-basinya.
Di lorong dan emperan Empire XXI, para artis, produser, dan pekerja film yang sudah punya nama terus-menerus lalu lalang. Orang berjalan sebentar-sebentar berhenti untuk menyapa. Kemunculan wajah-wajah yang biasa nampang di poster film dan media massa terasa mencolok. Tapi kalau ditanya siapa ruh utama JAFF, siapakah kerumunan yang menghidupkan festivalnya, jawabannya adalah para mahasiswa.
Keterlibatan mahasiswa sebagai penonton maupun partisipan adalah tradisi mengakar sejak JAFF didirikan.
Festival ini digagas sutradara Garin Nugroho dengan dana dari Pemerintah Kota Yogyakarta yang ingin perayaan ulang tahun ke-250 kota tersebut berlangsung meriah. Ia lantas menggandeng Philip Cheah, tokoh perfilman Singapura sekaligus Wakil Presiden NETPAC (Network for the Promotion of Asia Pacific Cinema), organisasi berbasis di Singapura yang punya misi menyebarluaskan film-film independen Asia-Pasifik. NETPAC lewat Philip berperan menyuplai film-film pendek Asia untuk diputar JAFF.
Ifa Isfansyah, tahun ini menjabat Festival Director JAFF, dan Ajish Dibyo, Executive Director, ikut terlibat sejak awal. Pada 2006, keduanya masihlah pemuda umur 20-an yang belum selesai studi. Ifa mahasiswa ISI Yogyakarta, sedangkan Ajish mahasiswa UGM.
“Jadi pada saat mau ngadain film festival itu, pas Mas Garin ketemu saya, saya juga bilang, ‘Wah ini kalau mau ngadain ya harus bareng-bareng, ini harus jadi milik bersama,’” cerita Ifa saat diwawancarai VICE.
Bareng-bareng yang dimaksud Ifa adalah menggandeng 70-an komunitas pembuat film pendek di Yogya yang didominasi mahasiswa. Ifa mengenang Jogja medio 2006 sebagai golden time bagi pembuat film pendek indie. Komunitas-komunitas tersebut bermunculan dipicu tumbuhnya sinema digital sejak awal 2000. Pemasaran perangkat digital membuat produksi film jauh lebih murah dibanding sebelumnya yang memakai film seluloid.
“Kan komunitas film di Jogja banyak banget waktu itu ya, ada 70-an. Komunitas film yang 90 persen orientasinya produksi. [Komunitas-komunitas film ini] sejak awal 2000-an sudah muncul. Kayak Ajish [Dibyo] punya komunitas, saya punya komunitas, Anggi Noen punya komunitas, Ismael [Basbeth] punya komunitas. Kita itu punya ruang sebulan sekali untuk ngumpul gitu saling sharing, nonton film bareng. Karya siapa, didiskusikan,” kata Ifa.
“Philip kan enggak ngerti seperti apa sih komunitas film di Yogyakarta. Pas ketemu 70 komunitas itu, ya [dia] baru tahu bahwa ada pergerakan sinema digital yang cukup kuat di sini,” tambah Ifa.
Jadilah JAFF pertama, bertajuk “Cinema in the Midst of Crisis” karena terselenggara hanya dua bulan setelah gempa bumi melanda Jogja. Festival ini digarap dengan gotong royong komunitas-komunitas tersebut, dan ditonton mereka-mereka juga.
“Awalnya penonton kita kan filmmaker. Mereka butuh nonton film apa? Nah waktu itu kita melihat, mereka kayaknya butuh nonton film Asia yang biayanya rendah, yang quality-nya bagus. Yang [situasi produksinya] mirip dengan situasi di sini. Yang kalau nonton tuh kayak, ada film kayak gini ya, aku bisa tuh bikin film kayak gitu,” papar Ifa.
“Karena belum ada market-nya sama sekali [selain filmmaker]. Dulu tuh nonton satu studio gitu, 10 orang. Paling 5-nya tuh panitia, karena sambil ngejagain enggak ada apa-apa, enggak ada antrian [jadi ikutan nonton]. Sisanya 5, terus paling 2 keluar,” timpal Ajish.
“Terus yang 2 keluar, yang 3 tidur,” balas Ifa.
Hingga hari ini, audiens utama JAFF tetaplah mahasiswa, kata Ifa dan Ajish.
“Di seluruh dunia, enggak ada festival yang wajahnya anak-anak muda [kayak JAFF], kecuali Busan ya. Kalau ke Eropa, [yang datang] ya profesional, kalau penonton film [sudah usia] 40 atau 50 ke atas,” kata Ifa lagi.
Recent Comments