Kenaikan PPN dan masa depan kelompok menengah
Jakarta (ANTARA) – Rencana Pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun 2025, memunculkan polemik di berbagai kalangan. Kebijakan ini, meski bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, menimbulkan pertanyaan besar: apakah kebijakan ini adil dan inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat?
Secara teori, kenaikan PPN dapat memberikan ruang fiskal lebih luas bagi Pemerintah untuk membiayai berbagai program strategis.
Pemerintah mengeklaim bahwa hasil kenaikan PPN nantinya akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai program perlindungan sosial seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Program Sembako, serta Subsidi Energi. Namun, realitanya, program-program perlindungan sosial tersebut sebagaimana tercermin dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), hanya mampu menyasar sekitar 40 persen penduduk dengan tingkat kesejahteraan terendah.
Kelompok menengah, yang terdiri atas kelompok “menuju kelas menengah” dan “kelas menengah”, sering kali terabaikan dalam kebijakan sosial. Padahal, kelompok ini merupakan penyumbang utama pengeluaran konsumsi rumah tangga yang menopang perekonomian nasional.
BPS mencatat, pada tahun 2024, proporsi pengeluaran konsumsi kelompok menengah mencapai 81,49 persen terhadap total pengeluaran penduduk Indonesia. Ironisnya, mereka juga yang akan merasakan beban langsung dari kenaikan PPN. Apalagi jika ditambah dengan rencana pengalihan subsidi energi menjadi bantuan langsung tunai.
Beban ekonomi ini tentu mengancam daya beli kelompok menengah, dan tanpa adanya jaring pengaman yang memadai, dikhawatirkan membuat mereka lebih rentan tergelincir ke kemiskinan.
Pada saat yang bersamaan, Pemerintah saat ini juga tengah mengkaji kebijakan pengalihan subsidi energi menjadi bantuan langsung. Meskipun pendekatan ini dinilai lebih efektif dalam menekan penyalahgunaan subsidi, konsekuensi logisnya adalah kenaikan harga BBM dan tarif listrik. Dampak langsungnya adalah peningkatan biaya hidup, yang akan menekan daya beli masyarakat, termasuk kelompok menengah.
Dalam 5 tahun terakhir, data BPS menunjukkan adanya tren penurunan jumlah penduduk kelompok menengah. Pada 2019, kelompok menengah mencakup 186,18 juta orang atau 69,65 persen dari total penduduk. Namun, pada 2024, jumlah ini berkurang menjadi 185,35 juta orang atau 66,35 persen.
Angka ini mengindikasikan tekanan ekonomi yang signifikan, terutama pada mereka yang berada di batas bawah kelas menengah. Dengan median pengeluaran yang lebih dekat ke batas bawah, sebagian besar dari mereka lebih mungkin tergelincir ke kelas rentan miskin ketimbang naik ke strata sosial yang lebih tinggi.
Pola ini juga tercermin dari struktur pekerjaan mereka. Mayoritas penduduk kelompok menengah bekerja sebagai buruh atau karyawan dengan upah yang masih jauh dari standar untuk mengamankan posisi di kelas tersebut.
Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2024 menunjukkan, rata-rata upah buruh di Indonesia adalah Rp3,27 juta per bulan. Angka ini masih sangat jauh dari Rp9,91 juta yang merupakan batas atas pengeluaran per kapita kelas menengah untuk naik ke kelas atas. Rendahnya tingkat upah ini menunjukkan adanya tantangan struktural dalam mendorong kesejahteraan kelas menengah.
Untuk mencegah penurunan lebih lanjut, peningkatan produktivitas tenaga kerja menjadi kunci. Pemerintah bersama sektor swasta perlu berkolaborasi menyediakan akses pendidikan berkualitas dan pelatihan berbasis keterampilan. Fokus harus diberikan pada teknologi dan industri masa depan, agar pekerja, terutama dari kelompok menengah, memiliki daya saing lebih tinggi di pasar tenaga kerja.
Selain itu, mendorong investasi di sektor-sektor bernilai tambah tinggi, seperti manufaktur canggih, teknologi informasi, dan industri kreatif, menjadi langkah strategis. Sektor-sektor ini tidak hanya menawarkan upah lebih tinggi, tetapi juga membuka peluang mobilitas vertikal dengan menyediakan posisi manajerial atau spesialis.
Namun, upaya ini tidak cukup hanya berhenti pada peningkatan produktivitas. Pemerintah perlu mendorong pembukaan lapangan kerja berkualitas yang mampu menyerap tenaga kerja secara optimal. Dengan pertumbuhan populasi usia produktif yang terus meningkat, ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja bisa menjadi bom waktu sosial yang serius.
Kebijakan pajak dan subsidi perlu dirancang lebih inklusif agar mendukung stabilitas dan daya beli kelompok menengah. Kenaikan tarif PPN, misalnya, seharusnya diimbangi dengan pemberian insentif bagi kelompok menengah. Insentif ini dapat berupa pengurangan beban pajak bagi yang berinvestasi dalam pendidikan anak, pengembangan keterampilan, atau pengelolaan usaha kecil.
Selain itu, subsidi pendidikan dan kesehatan yang lebih luas harus menjadi prioritas. Dengan menekan biaya pendidikan dan pelayanan kesehatan, Pemerintah dapat memberikan ruang bagi kelompok menengah untuk meningkatkan tabungan dan investasi, yang pada akhirnya diharapkan mampu mendorong konsumsi dan mobilitas ekonomi.
Pengembangan program kredit mikro dengan bunga rendah juga menjadi opsi strategis. Program ini bisa membantu kelompok menuju kelas menengah untuk mengembangkan usaha kecil atau meningkatkan kapasitas ekonominya. Dengan langkah ini, mereka tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga memiliki peluang lebih besar untuk naik kelas.
Konsumsi rumah tangga, terutama dari kelompok menuju kelas menengah dan kelas menengah, merupakan motor utama perekonomian Indonesia. Penurunan daya beli kelompok ini akibat kenaikan PPN dan harga energi dapat memicu efek domino yang menghambat pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan, termasuk kenaikan PPN dan pengalihan subsidi, dirancang dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang pada daya beli dan konsumsi rumah tangga. Konsumsi kelompok menengah tidak hanya menjadi penopang ekonomi, tetapi juga menjadi indikator stabilitas sosial. Penurunan daya beli mereka akan memicu efek domino yang berisiko melambatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Oleh karena itu, kebijakan yang mendukung keberlanjutan konsumsi kelompok ini perlu menjadi prioritas. Pemerintah harus menempatkan mereka dalam desain kebijakan sosial dan ekonomi, setara dengan kelompok miskin dan rentan. Sebab, menjaga kelompok menengah bukan hanya soal mempertahankan angka statistik, tetapi juga menjaga keseimbangan sosial dan ekonomi nasional.
Penurunan kelompok menengah di Indonesia adalah peringatan dini atas risiko stagnasi ekonomi yang dapat meluas. Sebagai pendorong utama konsumsi dan pertumbuhan, mereka membutuhkan perlindungan yang memadai untuk bertahan dan berkembang. Dengan kebijakan yang tepat, inklusif, dan berkelanjutan, kita masih memiliki peluang untuk membalikkan tren penurunan kelompok menengah.
Kelompok menengah adalah harapan bagi Indonesia untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Menjadikan kelompok ini prioritas dalam kebijakan pembangunan akan memastikan bahwa mereka tetap menjadi penggerak utama ekonomi yang kokoh sekaligus wujud keberhasilan pembangunan nasional yang adil dan berkelanjutan.
*) Nuri Taufiq dan Lili Retnosari merupakan Statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS)
Copyright © ANTARA 2024
Recent Comments