Kenapa Tambang Ilegal Sulit Diberantas di RI, Benarkah Kata Mahfud MD?
Jakarta, CNN Indonesia —
Tambang ilegal menjadi salah satu permasalahan yang dibahas dalam debat calon wakil presiden (cawapres) pada Minggu (21/1).
Cawapres nomor urut 3 Mahfud MD awalnya bertanya ke cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka terkait strateginya dalam mengatasi tambang ilegal.
Gibran pun menjawab strateginya untuk mengatasi tambang ilegal adalah dengan mencabut izin usaha pertambangan (IUP) mereka. Padahal yang namanya tambang ilegal, pasti tak punya IUP.
Terkait jawaban Gibran itu, Mahfud menyebut pencabutan IUP tidak semudah diucapkan, karena pada praktiknya ada hambatan-hambatan eksternal. Salah satunya terkait banyak tambang ilegal dilindungi atau memiliki penjaga (backing) aparat dan pejabat.
“Pertambangan di Indonesia banyak sekali ilegal dan itu di-backing aparat dan pejabat. Itu masalahnya,” ujar Mahfud.
Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ada 2.741 lokasi pertambangan tanpa izin atau PETI alias tambang ilegal yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan 96 lokasi di antaranya merupakan tambang ilegal batu bara yang tersebar di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Bengkulu, dan Sumatera Selatan.
Sedangkan sisanya atau sebanyak 2.645 lokasi tambang ilegal mineral yang tersebar merata di hampir seluruh provinsi.
“Dan melibatkan sekitar 3,7 juta orang pekerja tambang tanpa izin dengan rincian kira-kira 480 lokasi berada di luar wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) dan 133 lokasi di dalam WIUP, termasuk 2.128 lokasi yang belum diketahui keberadaannya yang akan diidentifikasi,” ujarnya dalam webinar beberapa waktu silam.
Lantas apa yang membuat tambang ilegal sulit diberantas?
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar berpendapat penyebab utama sulitnya diberantasnya tambang ilegal adalah keterlibatan penegak hukum secara langsung dan tidak langsung dalam pertambangan ilegal itu sendiri.
Keterlibatan itu sendiri sempat mengemuka dari beberapa kasus tambang ilegal yang pernah ramai di masyarakat. Salah satunya kasus tambang ilegal yang terjadi di Kalimantan Timur pada 2021 silam.
Saat itu diduga ada aliran dana suap dmasuk ke Bareskrim Polri lewat perantara bernama Ismail Bolong.
Ismail merupakan mantan polisi dengan pangkat terakhir sebagai Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu). Uang suap tambang itu disalurkan Ismail kala masih bertugas di Satuan Intelijen Keamanan (Satintelkam) Polresta Samarinda, Kalimantan Timur.
Dugaan itu sempat diselidiki oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Hasilnya, Propam menemukan adanya pemberian uang koordinasi dari Ismail kepada Bareskrim Polri.
Uang tersebut diserahkan Ismail melalui Kombes Budi Haryanto selaku Kasubdit V Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri. Ismail menyerahkan uang sebesar Rp3 miliar selama tiga kali pada periode Oktober, November, dan Desember 2021.
“Sebesar Rp3 miliar setiap bulan untuk dibagikan di Dittipidter Bareskrim Polri,” demikian dikutip dari Laporan Hasil Penyelidikan (LHP), Rabu (23/11).
Selain itu, Propam juga menemukan bahwa Ismail turut memberikan uang koordinasi kepada Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto.
Propam menemukan bahwa Ismail pernah memberikan uang koordinasi kepada Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto. LHP Propam menyebut uang itu diserahkan langsung kepada Agus di ruang kerja di Gedung Bareskrim Polri.
“Dalam bentuk US$ sebanyak 3 kali yaitu bulan Oktober, November dan Desember 2021 senilai Rp2 miliar setiap bulannya,” bunyi LHP tersebut.
Budi juga disebut mengenal para pengusaha tambang batu bara ilegal di wilayah Kaltim. LHP mengatakan Budi menerima uang koordinasi untuk kebutuhan oprasional setiap bulannya. Salah satunya terkait operasional kunjungan pimpinan sebesar Rp800 juta dari Ismail Bolong.
Adapun besaran uang koordinasi yang diterima Budi berkisar antara Rp500 juta-RP700 juta setiap bulannya. Sementara total uang yang telah diterima Budi diperkirakan mencapai Rp3 miliar-Rp5 miliar.
Namun, sampai saat ini belum jelas bagaimana akhir proses hukum dari kasus tersebut.
Selain di Kalimantan Timur keterlibatan aparat di kasus tambang ilegal juga terjadi di Kalimantan Utara. Kasus melibatkan Briptu Hasbudi.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga sempat melacak aliran dana dari oknum polisi bos tambang emas ilegal di Kalimantan Utara, Briptu Hasbudi.
PPATK menemukan Briptu Hasbudi mengirim sejumlah dana ke pihak tertentu.
Aparat dengan pangkat brigadir polisi satu itu diduga terlibat tambang emas ilegal.
Bahkan dari penyelidikan lanjutan kepolisian, aksi Briptu Hasbudi tak hanya terlibat aksi tambang ilegal, tapi juga penyelundupan pakaian bekas ilegal dan tindak pidana pencucian uang kepada sejumlah pejabat setempat.
Akibat perbuatannya itu, Briptu Hasbudi pun ditetapkan sebagai tersangka bersama empat orang lainnya dan dijerat pasal berlapis.
Melky mengatakan kasus itu merupakan sedikit contoh soal dugaan ada aparat di balik tumbuh suburnya tambang ilegal itu benar adanya.
“Keterlibatan langsung ditandai dengan sejumlah polisi dan tentara, menjadi pemodal dari tambang ilegal itu sendiri,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Senin (23/1).
Selain melibatkan aparat, tambang ilegal juga sering berkaitan dengan politisi dan penguasa. Ini terjadi karena potensi cuan besar dari tambang ilegal.
Berdasarkan catatan Jatam yang mengutip data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), ada dugaan bahwa tambang ilegal turut menjadi penyumbang dana kampanye Pemilu 2024. Dana itu diduga mengalir ke partai politik dan kontestan Pemilu 2024.
Jatam menilai dugaan dana tambang illegal mengalir untuk biaya kampanye Pemilu 2024 itu, sesungguhnya fenomena lama yang cenderung dibiarkan.
Sementara keterlibatan penegak hukum secara tidak langsung dalam tambang ilegal, sambung Melky, adalah ketika anggota Polri dan TNI ikut membekingi operasi tambang ilegal. Bahkan katanya, ada kasus di mana oknum-oknum tersebut justru yang memasok merkuri dan sianida bagi penambang ilegal.
“Lalu, pola lain yang sering digunakan adalah memanfaatkan produk hukum untuk mendapat cuan dari penambang ilegal. Banyak kasus, penegakan hukum justru menjadi daya tawar aparat untuk meraup cuan. Semacam dijadikan ATM,” imbuhnya.
Selain aparat, Melky mengatakan ada juga keterlibatan politisi dalam tambang ilegal. Namun, politisi dinilai tidak mungkin bisa sebebas itu, jika tidak bersekongkol dengan penambang, pemodal, dan penegak hukum.
Ia menyebut untuk membasmi tambang ilegal bisa dimulai dengan membersihkan institusi penegak hukum itu sendiri.
“Membersihkan institusi ini harus mulai dari jabatan paling tinggi, mengingat, anak buah yang terlibat di lapangan, selalu setor ke atasan dan dilindungi oleh atasan itu juga,” katanya.
Sementara itu, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan ada banyak penyebab maraknya tambang ilegal. Mulai dari proses perizinan yang sangat rumit berpadu dengan berbagai macam pungutan liar (pungli) dan korupsi.
Kemudian, kongkalikong antara pelaku tambang ilegal dengan aparat agar mendapatkan lebih banyak cuan, dan adanya aksi backing-membacking oleh aparat dan pejabat.
“Kemudian lemahnya pengawasan hasil tambang di pasaran sehingga hasil tambang ilegal dengan tambang legal berbaur begitu saja di pasaran, sampai pada buruknya mentalitas penambang yang berani melakukan aktivitas tambang tanpa izin,” katanya.
Soal siapa yang bermain dalam tambang ilegal, Rhonny menyebut baik aparat maupun penguasa berpeluang terlibat. Pasalnya aparat memiliki kekuasaan dalam hal pengamanan dan perlindungan di lapangan.
Sedangkan, penguasa memiliki kekuasaan dan wewenang untuk melindungi di level atas alias di lingkaran elit.
“Jadi keduanya sama-sama berpeluang besar untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan dalam melanggengkan aktivitas tambang ilegal,” katanya.
Rhonny mengatakan setidaknya ada empat cara memberantas tambang ilegal.
Pertama, para pemimpin nasional, kepala daerah, pemimpin aparat, dan lainnya, harus bertindak tegas memberantas tambang ilegal. Pemimpin yang tegas, sambungnya, tidak hanya akan menimbulkan efek jera kepada para pelaku, tetapi juga menularkan ketegasan ke aparat di bawahnya.
“Karena ada jaminan dari level atas bahwa tindakan mereka akan mendapatkan dukungan penuh,” katanya.
Kedua, debirokratisasi perizinan tambang yang juga disertai dengan meningkatkan transparansi proses perizinan.
Ketiga, peningkatan peran audit internal lembaga pemerintah yang terkait dengan sektor pertambangan, yang juga disertai peningkatan kualitas SDM yang menjalankannya.
“Keempat, memberikan pengakuan atas keterlibatan masyarakat sipil dalam pengawasan sektor tambang, mulai dari NGO sampai pada media-media,” katanya.
(agt/agt)
Recent Comments