Menata pajak digital demi keadilan fiskal yang lebih luas
Keberhasilan kebijakan ini akan menjadi cerminan sejauh mana negara mampu beradaptasi dan melayani warganya di era digital yang terus berubah
Jakarta (ANTARA) – Transformasi digital telah mengubah wajah ekonomi Indonesia secara fundamental. Dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas perdagangan daring tumbuh pesat, menjangkau berbagai segmen masyarakat dari kota hingga desa, dari pelaku usaha besar hingga penjual rumahan.
Di balik geliat pertumbuhan itu, muncul satu tantangan besar yang kini coba dijawab oleh pemerintah: Bagaimana menjamin keadilan fiskal dalam lanskap ekonomi yang semakin digital?
Pertanyaan ini menjadi dasar bagi kebijakan terbaru Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang akan menunjuk platform e-commerce sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5 persen dari omzet pedagang yang berjualan melalui marketplace.
Kebijakan ini sesungguhnya bukanlah hal yang sepenuhnya baru. Selama ini, pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) telah dikenakan PPh final dengan tarif 0,5 persen sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022.
Namun, mekanisme pemungutannya selama ini mengandalkan sistem pelaporan mandiri (self-assessment) yang bergantung pada kesadaran dan kapasitas administratif masing-masing wajib pajak. Banyak di antaranya belum memahami kewajiban pajak mereka, atau bahkan belum terdaftar secara resmi.
Karena itu, langkah pemerintah untuk mengubah metode pemungutan menjadi sistem pemotongan langsung (withholding) oleh platform digital bertujuan memperkuat kepatuhan sekaligus menyederhanakan beban administrasi bagi pelaku usaha.
Langkah ini menjadi penting karena menyentuh dua aspek strategis sekaligus. Pertama, ia menyasar perluasan basis pajak di sektor ekonomi digital yang selama ini belum tergarap maksimal.
Kedua, ia memanfaatkan kekuatan teknologi dan data transaksi yang tersedia di platform digital untuk memastikan akurasi dan efisiensi administrasi perpajakan. Marketplace memiliki catatan transaksi yang jelas, sistem pembayaran yang terdokumentasi, serta informasi identitas pedagang yang lebih lengkap. Pemanfaatan data ini memungkinkan DJP menjangkau wajib pajak dengan cara yang lebih modern dan minim konflik.
Baca juga: Tantangan mewujudkan keadilan dalam pajak e-commerce
Implementasi Pengenaan Pajak Digital
Tentu saja, respons terhadap kebijakan ini beragam. Sebagian pelaku usaha kecil menyuarakan kekhawatiran bahwa pemotongan pajak ini bisa menggerus margin keuntungan mereka, terutama di tengah tantangan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
Namun, penting dipahami bahwa potongan ini bukanlah beban baru. Pajak ini sudah berlaku sebelumnya, hanya saja kini dibayarkan secara otomatis. Bahkan, bagi sebagian pelaku usaha, sistem ini justru mempermudah karena mereka tidak perlu lagi melakukan pelaporan dan penyetoran sendiri, yang kerap menjadi hambatan karena keterbatasan informasi dan sumber daya.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
Recent Comments