Pengusaha Ungkap Biang Kerok Okupansi Mal Belum Pulih
Jakarta, CNN Indonesia —
Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mencatat tingkat okupansi pusat perbelanjaan pada 2023 masih 80 persen. Angka ini belum pulih dari rata-rata tingkat okupansi sebelum pandemi covid, yakni 90 persen.
Adapun tingkat okupansi merupakan tingkat keterisian pusat belanja oleh toko-toko.
“Sebelum pandemi, okupansi rata-rata 90 persen. Selama covid turun 20 persen hanya jadi 70 persen. Di pertengahan 2022, sudah mulai ada peningkatan okupansi, perlahan naik. Ditambah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut PPKM pada Desember 2022 menjelang akhir tahun,” kata Ketua Umum APPBI Alphonsus Widjaja dalam konferensi pers di Epicentrum Walk, Jakarta Selatan, Kamis (18/1).
“Sehingga di 2023, kita menutup tahun 2023 dengan tingkat okupansi yang cukup menggembirakan, sudah mencapai di 80 persen, meskipun belum kembali ke 90 persen sebelum covid,” sambungnya.
Lebih lanjut, Alphonsus menyebut tingkat okupansi pusat belanja bisa kembali menjadi 90 persen seperti sebelum pandemi asal impor ilegal yang mengganggu iklim perdagangan di dalam negeri dapat dibasmi oleh pemerintah.
“Sebetulnya yang mengganggu produk lokal itu adalah barang-barang ilegal. Banyak barang ilegal, baik itu di online maupun yang masuk langsung seperti pakaian bekas dan sebagainya, itu yang mengganggu produk lokal,” ujar dia.
Alphonsus menjelaskan peningkatan okupansi juga diiringi oleh pembukaan sejumlah pusat perbelanjaan yang pembangunannya selesai di 2024. Kendati demikian, target peningkatan tingkat okupansi dan pembukaan pusat belanja baru terancam tak tercapai akibat maraknya produk impor ilegal yang terus bertambah.
Belum lagi ada regulasi terbaru yang dinilai APPBI semakin memperketat proses impor. Aturan yang dimaksud yakni Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 yang menata kembali kebijakan impor dengan menggeser pengawasan impor dari post border ke border.
Kebijakan tersebut dinilai bakal mengganggu rantai pasok dari peritel di Indonesia, khususnya yang selama ini memasok barang impor.
Menurut Alphonsus, selama ini yang mengganggu produk dalam negeri bukan barang impor yang masuk secara resmi, melainkan barang impor ilegal. Alih-alih mengatur hal tersebut, pemerintah justru melakukan pengetatan terhadap impor secara keseluruhan.
“Tanpa disadari, rencana pembatasan impor ini, kalau ditelaah lebih lanjut, ini sebetulnya bisa mengancam industri usaha ritel di Indonesia. Jadi saya menyebutnya sebetulnya ini ancaman atas keberlangsungan industri ritel di Indonesia,” tegasnya.
“Sekarang pemerintah melakukannya, tindakannya adalah bukan mengatasi barang ilegal, tetapi membatasi impor. Nah, impor ini, yang resmi ini sekarang akan direncanakan, akan dibatasi, dipersulit lah barang-barang impor ini,” kata Alphonsus lebih lanjut.
Oleh karena itu, peritel mengusulkan agar pemerintah memperketat impor ilegal dan memberikan insentif kepada produk dalam negeri agar bisa bersaing dengan produk impor.
“Jadi usulan kami kepada pemerintah sebetulnya produk lokal ini harus didukung, diberikan fasilitas, diberikan kemudahan dan sebagainya begitu. Supaya bisa bersaing, bukan dengan membatasi impor,” katanya.
(del/sfr)
Recent Comments