Putar Balik Pemilu Nasional dan Lokal Digelar Terpisah-Serentak-Terpisah Lagi
TEMPO.CO, Jakarta – Mahkamah Konstitusi memutuskan penyelenggara pemilihan umum atau Pemilu di tingkat nasional harus dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan pemilihan lokal. Dengan begitu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029 mendatang.
MK mengabulkan sebagian permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada Kamis, 26 Juni 2025. Perludem mengajukan pengujian terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ke MK. Dalam petitum, Perludem meminta MK memutus Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu sepanjang frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak”, karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum.
“Penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di gedung MK, Kamis, 26 Juni 2025.
Menurut MK, definisi pemilu nasional adalah pemilihan anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden. Sementara pemilu lokal terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah atau pilkada.
Jika putar balik ke 2024, tahun itu adalah pertama kali Pemilu dan Pilkada digelar secara serentak. Sebab sebelumnya, pemilu dan pilkada belum pernah dilaksanakan di tahun yang sama.
Pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, lalu anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) RI, dewan perwakilan daerah (DPD) RI, serta dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota digelar pada 14 Februari 2024. Sementara, pilkada yang digelar 27 November 2024, memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh Indonesia.
Situs resmi Komisi Pemilihan Umum menyebut alasan Pemilu dan Pilkada digelar secara serentak sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang merupakan tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14 Tahun 2013.
Dalam putusan MK tersebut, amarnya mengabulkan lima permohonan Pemohon untuk sebagian dan membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1), Pasal 12 ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). “Pertimbangan hukum putusan MK tersebut pada intinya untuk memperkuat sistem presidensial,” tulis KPU.
Sementara itu, ketentuan mengenai Pilkada digelar serentak di 2024 diatur melalui Pasal 201 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
Ketua KPU 2022-2024 Hasyim Asy’ari menjelaskan pemilu pada dasarnya bertujuan untuk membentuk pemerintahan di pusat dan daerah. Melalui pemilu, jabatan pemerintahan nasional yang meliputi presiden, anggota DPR, dan anggota DPD akan terisi. Begitu pula dengan jabatan pemerintah daerah yang mencakup kepala daerah serta anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
“Menyerentakkan Pemilu dan Pilkada pada tahun yang sama dinilai akan menghasilkan pemerintahan yang stabil, karena konstelasi politiknya yang akan mengawal 5 tahun ke depan,” kata Hasyim.
Senyampang putusan soal pemisahan pemilu nasional dan lokal, MK menyerahkan pembentuk undang-undang memutuskan perihal pengaturan masa transisi/peralihan masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah hasil pemilihan pada tanggal 27 November 2024. Mahkamah juga meminta pemerintah dan DPR mengatur masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota hasil pemilihan pada tanggal 14 Februari 2024.
Penentuan dan perumusan dimaksud diatur oleh pembentuk undang-undang dengan melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) berkenaan dengan masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota. “Termasuk masa jabatan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sesuai dengan prinsip perumusan norma peralihan atau transisional,” tulis keterangan resmi MK, pada 26 Juni 2025.
Recent Comments