Sisi baik menyimpan dolar di tengah memanasnya konflik Iran-Israel
Jakarta (ANTARA) – Nilai tukar sering kali dianggap sekadar angka yang dilaporkan media setiap pagi, tetapi dalam kenyataannya, nilai tukar merupakan salah satu aset paling strategis dalam pengelolaan kekayaan.
Saat ini Indonesia secara umum sedang memasuki fase depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD), setelah sebelumnya mengalami periode penguatan.
Pergerakan ini bukan sekadar sinyal dari pasar valuta asing, melainkan cerminan kompleks dari dinamika ekonomi global dan nasional, yang harus dipahami dengan lebih jernih, terutama dalam menyusun strategi investasi.
Depresiasi nilai tukar bukanlah tragedi jika disikapi secara cerdas. Dari sisi makroekonomi, apresiasi rupiah yang terlalu cepat pun sebenarnya tidak ideal.
Keadaan ini bisa merugikan sektor ekspor, menekan pendapatan pelaku usaha domestik yang berorientasi ekspor, dan pada akhirnya merambat pada lapangan kerja.
Maka, tren depresiasi ringan seperti yang diproyeksikan saat ini justru bisa menjadi penyeimbang, dengan asumsi tetap terkendali.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Bulan Juni 2025 memastikan Bank Indonesia terus memperkuat respons kebijakan stabilisasi, termasuk intervensi terukur di pasar off-shore Non-Deliverable Forward (NDF) dan strategi triple interventionpada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan SBN di pasar sekunder.
Seluruh instrumen moneter juga terus dioptimalkan, termasuk penguatan strategi operasi moneter pro-market melalui optimalisasi instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valuta Asing Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valuta Asing Bank Indonesia (SUVBI), untuk memperkuat efektivitas kebijakan dalam menarik aliran masuk investasi portofolio asing dan mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.
Meski begitu, dalam dua hingga tiga bulan ke depan, banyak yang memperkirakan nilai tukar akan menguji kisaran Rp16.500 hingga Rp16.600 per dolar AS. Ini membuka ruang refleksi dan aksi bagi setiap pelaku ekonomi, baik institusi maupun individu.
Bagi investor ritel, termasuk masyarakat kelas menengah yang selama ini bergantung pada instrumen-instrumen investasi konvensional, momentum ini bisa menjadi kesempatan untuk memahami kembali pentingnya diversifikasi aset.
Jika saat ini seseorang memegang USD dalam jumlah tertentu, misalnya USD100.000, dengan kurs Rp16.390, maka asetnya dalam rupiah setara dengan Rp1.639.000.000.
Namun, jika tren pelemahan rupiah berlanjut hingga Rp16.600, nilai aset tersebut naik menjadi Rp1.660.000.000 tanpa perlu melakukan aktivitas investasi apa pun.
Selisih Rp21.000.000 dalam hitungan minggu adalah cerminan dari kekuatan posisi mata uang sebagai aset pelindung nilai.
Hal ini sering luput dari perhatian masyarakat yang terbiasa hanya melihat aset dalam bentuk fisik atau instrumen populer seperti saham.
Volatilitas kurs
Padahal, volatilitas kurs adalah realitas yang mempengaruhi hampir semua lini ekonomi, dari biaya impor bahan baku industri hingga nilai riil kekayaan pribadi.
Contoh konkret bisa dilihat dalam skenario transaksi properti, jika seseorang hendak membeli properti senilai Rp10 miliar saat kurs Rp16.200, ia perlu mengkonversi sekitar USD617.284.
Namun, jika pembayaran tertunda dan kurs bergerak ke Rp16.500, jumlah dolar yang dibutuhkan berkurang menjadi USD606.060. Ada selisih sebesar USD11.225, atau sekitar Rp180 juta dalam transaksi tunggal, hanya karena perubahan kurs.
Fenomena seperti ini menegaskan bahwa memegang aset dalam USD bukan sekadar strategi menyimpan uang, melainkan bentuk lindung nilai terhadap depresiasi daya beli rupiah.
Dalam banyak kasus, dolar berperan sebagai “safe haven” di tengah gejolak pasar. Ini juga yang menjelaskan mengapa dalam kondisi global seperti saat ini dengan pasar saham menurun, harga komoditas tidak stabil, dan geopolitik seperti konflik di Timur Tengah memanas, dolar menjadi pilihan rasional.
Di sisi lain, pasar saham Indonesia, khususnya indeks harga saham gabungan (IHSG), menunjukkan tanda-tanda penurunan yang semakin nyata.
Setelah menembus level support psikologis di 7.000, tren bearish diperkirakan akan membawa indeks menuju level 6.800.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus memproyeksikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi bergerak melemah pada perdagangan Jumat, dengan sentimen utama berasal dari tingkat global.
Sentimen utama masih akan berasal dari ketegangan konflik antara Iran dan Israel di Timur Tengah, yang mana pelaku pasar mencermati sikap dari negara- negara lain terhadap konflik itu.
Menurut dia, ketidakpastian merupakan musuh terbesar bagi pasar. Karenanya selama dua pekan ke depan, IHSG masih akan memiliki keraguan untuk menguat, dimana pasar obligasi akan mendampingi kegundahan itu meskipun penurunan harga obligasi akan jauh lebih terbatas karena memiliki risiko yang jauh lebih rendah. “Ruang penguatan terbuka, namun mungkin tipis setidaknya hingga ketidakpastian berkurang,” ujar Nico.
Penurunan ini diperparah oleh aksi jual yang dilakukan institusi besar terhadap saham-saham sektor perbankan dan utilitas publik, seperti yang terlihat dari pelemahan saham blue chip dalam beberapa hari terakhir.
Jika investor institusional sudah menarik dananya dari pasar saham, itu bukan sekadar aksi ambil untung, melainkan sinyal bahwa kepercayaan jangka pendek terhadap potensi pertumbuhan melemah.
Oleh karena itu, saat banyak orang masih berharap pada “rebound” pasar saham, langkah yang lebih bijak adalah realokasi portofolio.
Menjual saham di harga yang masih relatif tinggi adalah bentuk antisipasi untuk mencegah kerugian lebih lanjut, bukan tanda kepanikan.
Bersikap objektif
Dalam strategi investasi menyeluruh, timing adalah elemen vital. Dan dalam konteks seperti sekarang, menahan posisi terlalu lama hanya akan meningkatkan eksposur risiko.
Satu hal yang patut digarisbawahi adalah pentingnya bersikap objektif dalam melihat realitas pasar. Investor yang terlalu terikat emosi pada satu jenis aset, misalnya saham, akan kesulitan beradaptasi saat pasar tidak bergerak sesuai harapan.
Justru dalam kondisi fluktuatif seperti inilah, kesadaran akan pentingnya diversifikasi semakin krusial. Tidak hanya diversifikasi sektor dalam saham, tapi juga lintas instrumen dari properti, emas, obligasi, hingga aset mata uang asing seperti USD.
Kebanyakan masyarakat Indonesia masih menjadikan rupiah sebagai satu-satunya tolok ukur kekayaan. Padahal, ketika nilai rupiah terus terdepresiasi, kekayaan nominal boleh jadi tetap, namun daya belinya menurun.
Dalam banyak kasus, masyarakat tidak sadar bahwa kekayaannya diam-diam “tergerus” bukan karena harga naik, tapi karena rupiah lemah. Di sinilah USD atau aset berdenominasi dolar mengambil peran penting sebagai alat untuk menjaga kestabilan nilai kekayaan.
Semua perlu menyadari bahwa dalam lanskap ekonomi global yang kian tak pasti, strategi bertahan bukan hanya tentang memilih aset paling menguntungkan, tapi juga tentang memitigasi risiko kehilangan daya beli.
Melemahnya rupiah mungkin tidak terhindarkan, namun bukan berarti tidak bisa diantisipasi. Justru dengan pemahaman yang tepat, depresiasi ini bisa diubah menjadi momentum untuk menyusun kembali strategi keuangan yang lebih resilien.
Ke depan, tren ini bisa saja bergulir cepat mengikuti arah kebijakan moneter AS, ketegangan geopolitik, dan respons pasar regional.
Namun satu yang pasti bahwa mereka yang memahami nilai tukar sebagai aset, bukan sekadar angka, akan jauh lebih siap menghadapi dinamika ekonomi yang terus berubah.
Dalam dunia yang terus bergerak, yang bertahan bukan yang paling kuat, tetapi yang paling adaptif. Dan adaptasi terbaik dimulai dari kesadaran bahwa mata uang adalah cermin dari kekuatan ekonomi dan alat lindung nilai yang sangat nyata.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
Recent Comments