Soal Seruan Pemakzulan Gibran, Jimly: Hanya Ekspresi Kemarahan
TEMPO.CO, Jakarta — Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menyatakan, tuntutan pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka merupakan ekspresi kekecewaan atau kemarahan yang alamiah. Jimly menyebut seruan pemakzulan oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI itu adalah kemarahan terhadap mantan Presiden Joko Widodo dan keluarganya.
Menurut Jimly, tuntutan itu pun harus dihormati. “Jadi kita tidak usah menafikan, tidak usah kecilkan. Artinya, dipahami saja, dan jadikan pelajaran bahwa ada kelompok-kelompok yang sedang marah kepada keadaan,” ujar Jimly sesuai salat Idul Adha 1446 Hijriah di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Jumat, 6 Juni 2025.
Forum Purnawirawan Prajurit TNI bersurat ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perihal usulan pemakzulan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden. Surat bernomor 003/FPPTNI/V/2025 itu ditujukan langsung kepada Ketua MPR Ahmad Muzani dan Ketua DPR Puan Maharani.
Sekretaris Forum Purnawirawan Prajurit TNI Bimo Satrio mengatakan, surat itu telah diterima oleh Sekretariat Jenderal MPR dan DPR. “Sudah dikirimkan pada Senin, 2 Juni 2025,” katanya saat dihubungi pada Selasa, 3 Juni 2025.
Forum Purnawirawan Prajurit TNI menyampaikan sejumlah pandangan hukum alasan usulan pemakzulan Gibran. Mereka menilai pencalonan putra sulung Jokowi ini tak lepas dari intervensi relasi keluarga lewat Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu Anwar Usman. Para pensiunan tentara itu juga menyoroti kepatutan dan kepantasan yang dimiliki Gibran sebagai seorang wakil presiden. Menurut mereka, mantan Wali Kota Solo itu masih minim kapasitas dan pengalaman untuk menjabat sebagai RI 2.
Jimly Asshiddiqie mengatakan, langkah para purnawirawan TNI bersurat ke DPR perlu dihargai. Pria yang pernah menjabat Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada 2012-2017 itu menilai, usulan sejumlah mantan jenderal mengenai pencopotan Gibran dari posisi wakil presiden tidak didasarkan oleh pertimbangan materi atau politik kekuasaan. “Tapi itu ekspresi dari idealisme bernegara,” tutur dia.
Dia menjelaskan, prosedur pemakzulan pemimpin negara tidak bisa dilakukan secara asal-asalan. Sebab, aturan mengenai pemakzulan atau impeachment sudah tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. “Sudah ada kesepakatan mengenai tata cara mengekspresikan atau tata cara untuk memakzulkan presiden dan wakil presiden. Itu namanya mekanisme impeachment, sudah diatur di Konstitusi,” ujar dia.
Jimly memaparkan enam hal yang bisa dijadikan alasan pemakzulan. Pertama, pengkhianatan terhadap negara. Kedua, korupsi. Ketiga, suap. Keempat, tindak pidana berat, yakni pidana dengan ancaman hukuman di atas lima tahun. “Jadi ada empat kemungkinan alasan hukum,” ujar Jimly.
Kemudian, dua alasan lainnya adalan perbuatan tercela dan alasan maladministrasi. Bila presiden atau wakilnya terbukti melakukan perbuatan tercela, kata dia, maka bisa dijadikan alasan pemakzulan. “Terakhir itu alasan administrasi. Kalau dia meninggal, dia mengundurkan diri, atau dia ternyata tidak memenuhi syarat lagi sebagai presiden atau wakil presiden, dia bisa diberhentikan,” kata Jimly.
Namun, dugaan pelanggaran tersebut harus dilakukan melakui mekanisme putusan di Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa usul pemberhentian presiden atau wakilnya dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR. Sementara itu, pengajuan permintaan DPR kepada Mahkamah hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna. “Jadi langkah pertama harus beres dulu di DPR,” kata Jimly.
Jimly pun menilai kecil kemungkinannya usulan pemakzulan putra sulung Jokowi itu direalisasikan. Pasalnya, Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus atau koalisi partai pendukung Prabowo Subianto menempati lebih dari 80 persen kursi parlemen. Terlebih, Gibran menjabat wakil presiden juga atas pilihan Prabowo. “Tidak mungkin Partai Gerindra dan begitu juga partai-partai koalisi itu akan mengambil inisiatif mencapai angka dua per tiga itu,” kata Jimly.
Novali Panji Nugroho turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor:
Recent Comments